Selasa, 29 Maret 2011

BANK DAN HUKUM


BANK dan HUKUM
Bab I
A.    Pengertian Bank dan Hukum Perbankan
1.Definisi Bank
Definisi bank dan perbankan sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992, disebutkan pengertian bank sebagai berikut :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”Sedangkan perbankan didefinisikan sebagai berikut : “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam menatalaksanakan kegiatan usahanya.”Menurut OP Simorangkir pengertian bank adalah sebagai berikut: “Salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasajasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral” Sedangkan Sentosa Sembiring dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perbankan” memberikan definisi bank sebagai berikut:
 “Bank adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak dibidang jasa keuangan, Bank sebagai badan hukum berarti secara yuridis adalah merupakan subyek hukum yang berarti dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga. Dengan demikian hukum perbankan dapat disrumuskan adalah serangkaian kaidah-kaidah yang mengatur tentang badan usaha perbankan. Kaidah-kaidah yang dimaksud di sini adalah baik yang terdapat dalam hukum positif maupun dalam praktek perbankan.”

2.Definisi Hukum Perbankan
Hukum perbankan menurut Munir Fuady adalah sebagai berikut; “Seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan
tersebut.” Sedangkan menurut Muhamad Djumhana14 ruang lingkup hukum perbankan di Indonesia meliputi hukum yang mengatur masalah-masalah perbankan yang berlaku sekarang di Indonesia. Dengan demikian berarti akan membicarakan aturan-aturan perbankan yang masih berlaku sampai saat ini, sedangkan peraturan perbankan yang pernah berlaku pada masa yang lalu, harus dibahas apabila mempunyai keterkaitan dengan ketentuan yang berlaku saat ini atau pembahasan dalam kerangka sejarah perbankan di Indonesia. Sedangkan Hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.

3. Jenis-jenis Bank
Widjanarto dalam bukunya “Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia” menjabarkan jenis bank berdasarkan fungsi dan kepemilikannya, sebagai berikut :
Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya :
1. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UU No. 13 tahun1968.
2. Bank Umum, yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
3. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang dapat menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang disamakan dengan itu.
4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Hal tersebut dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 5 ayat 2 UU Perbankan 1992. Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu adalah antara lain, melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil, pengembang ekspor non-migas dan pengembangan pembangunan perumahan.
    Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya :
1.Bank Umum milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat didirikan     berdasarkan UU.
2. Bank Umum swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan usaha setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbanganpertimbangan BI. Ketentuan tentang peizinan, bentuk hukum dan kepemilikan Bank Umum Swasta ditetapkan dalam pasal 16, 21 dan pasal 22 UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Sedangkan syarat pendiriannya saat ini diatur dalam SK Menteri Keuangan RI No. 1061/KMK 00/1998 tentang pendirian Bank swasta, Nasional, dan Bank Koperasi, tanggal 28 Oktober 1988.
3. Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia,dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri. Ketentuan tentang pendirian bank campuran diatur dan ditetapkan dalam pasal 17 UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Syarat pendirian Bank Campuran untuk saat ini diatur dalam SK Menteri Keuangan RI No. 1068/KMK.00/1988 tentang pendirian Bank Campuran, tanggal 28 Oktober 1998.
4. Bank Pembangunan Daerah, yaitu bank milik Pemerintah Daerah. Berdasarkan Pasal 54 UU Perbankan 1992 di mana dinyatakan bahwa UU No. 13 tahun 1962 tentang 15 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan perbankan di Indonesia. ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah dinyatakan hanya berlaku untuk jangka waktu 1 tahun sejak mulai berlakunya UU tersebut, maka bentuk Bank Pembangunan Daerah tersebut akan disesuaikan menjadi Bank Umum sesuai dengan UU Perbankan 1992. Jenis Bank menurut Pasal 5 UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 Bank terdiri dari :
- Bank Umum, Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintasm pembayaran.
- Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk   deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Bab II

B.  Tinjauan Mengenai Kredit Perbankan
1. Pengertian Kredit
Menurut Pasal 1 butir 12 UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Sedangkan dalam Pasal 3 Butir 11 UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Muhammad Djumhana dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perbankan” di Indonesia menyatakan bahwa:16 Kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang
berarti percaya. Dasar dari kredit adalah kepercayaan. Pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktunya maupun prestasi dan kontra prestasinya. Sedangkan Thomas Suyatno menyatakan bahwa :17 Kebutuhan manusia yang beraneka ragam sesuai dengan harkatnya selalu meningkat, sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan itu terbatas. Hal ini menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya. Dalam hal ini ia berusaha, maka untuk meningkatkan daya guna sesuatu barang, ia memerlukan bantuandalam bentukpermodalan. Bantuan dari bank dalam bentuk tambahan modal inilah yang disebut kredit.

2. Unsur-unsur Perkreditan
Thomas Suyatno menjelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam kredit sebagai berikut :
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
    diberikan baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.
b. Tenggang Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian    prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya daripada uang yang akan datang.
c. Degree of Risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
    adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan, inilah yang menimbulkan unsur resiko. Dengan adanya unsur resiko ini maka timbulah jaminan dalam pemberian kredit.
d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat  berbentuk  barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek perkreditan.

3. Prinsip-prinsip Kredit
Selain dari unsur-unsur kredit tersebut, terdapat juga prinsip-prinsip dari kredit
yaitu :
1. Character (Kepribadian)
    Salah satu unsur yang mesti diperhatikan oleh bank sebelum memberikan
    kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/watak dari calon debiturnya. Karena watak yang jelek akan menimbulkan perilaku-perilaku yang jelek pula. Perilaku yang jelek ini termasuk tidak mau membayar hutang. Karena itu sebelum kredit diluncurkan harus terlebih dahulu ditinjau apakah misalnya calon debitur berkelakuan baik, tidak terlibat tindakan-tindakan kriminal, bukan merupakan penjudi, pemabuk atau tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya.
2. Capacity (Kemampuan)
    Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika bisnisnya ataupun kinerja bisnisnya lagi menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan, kecuali jika menurunnya itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka  kinerja bisnisnya tersebut dipatikan akan semakin membaik.
3. Capital (Modal)
    Permodalan dari suatu debitur juga merupakan hal yang penting harus diketahui oleh calon krediturnya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu debitur akan memiliki korelasi langsung dengan tingkat kemampunan bayar kredit, jadi masalah likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya.
4. Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)
    Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakan faktor penting pula untuk dianalisis sebelum kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnisnya pihak debitur. Misalnya jika bisnis debitur adalah dibidang bisnis yang selama ini diproteksi atau diberikan hak monopoli oleh pemerintah, jika misalnya ia terdapat policy dimana pemerintah mencabut proteksi atau hak monopoli, maka pemberian kredit terhadap perusahaan tersebut mesti ekstra hati-hati.
5. Collateral (Agunan)
    Tidak diragukan lagi bahwa betapa pentingnya fungsi agunan dalam setiap pemberian kredit. Karena itu bahkan undang-undang mensyaratkan bahwa agunan itu mesti ada dalam setiap pemberian kredit. Sungguhpun agunan itu misalnya hanya berupa hak tagihan yang terbit dari proyek yang dibiayai oleh kredit yang bersangkutan. Agunan penting dimana bila suatu kredit benar-  benar dalam keadaan macet maka akan direalisasi/dieksekusi.

4. Resiko-Resiko Kredit
Ditinjau dari segi resiko, pada dasarnya resiko yang mungkin timbul dalam pembiayaan perbankan syariah hampir sama dengan resiko pembiayaan pada perbankan konvensional. Adapun macam-macarn resiko tersebut antara lain adalah:
1. Resiko Kredit (Credit Risk)
    Pada umumnya resiko ini timbul dari akibat kegagalan suatu pembiayaan bank, dimana pihak yang mendapatkan fasilitas pembiayaan/kredit tersebut gagal memenuhi kewajibannya (default). Faktor kunci pengendalian resiko kredit ini adalah dengan diversifikasi dari tipe-tipe kredit baik dalam wilayah geografis dan jenis-jenis industri yang dibiayai, kebijakan jaminan/agunan, analisa pembiayaan dan sebagainya. Dalam mengurangi resiko ini, penting untuk melakukan standar pengendalian kredit yang diterapkan.
2. Resiko Pasar (Market Risk)
    Resiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki suatu bank sehingga dapat menimbulkan kerugian. Termasuk dalam variabel pasar ini adalah suku   bunga dan nilai tukar. Namun demikian bank syariah tidak akan menghadapi resiko fluktuasi suku bunga, sekalipun bank mengalami resiko likuiditas sebagai akibat adanya nasabah yang menarik dana dari bank syariah dan berpindah ke bank kovensional.
3. Resiko Likuiditas (Liquidity Risk)
    Resiko ini dapat terjadi manakala bank syariah tidak dapat memaksimumkan pendapatan, sehingga pergerakan berjalan tidak maksimal karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. oleh karenanya, selayaknya bank syariah dapat mengukur jumlah likuiditas yang tepat. Likuiditas yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan berkurangnya tingkat pendapatan, sementara likuiditas yang rendah berpotensi bagi bank untuk meminjam dana dengan harga yang tidak pasti, sehingga berakibat pada meningkatnya biaya dan penurunan profitabilitas bank.
4. Resiko Operasional (Operational Risk)
    Faktor internal bank syariah dalam kegiatan operasional dapat menjadi penyebab utama munculnya resiko ini yang berdampak pada kinerja bank syariah itu sendiri. Faktor - faktor tersebut antara lain tidak berfungsinya   proses internal bank, kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem atau adanya masalah eksternal yang mempengaruhi kinerja operasional bank.
5. Resiko Hukum (Legal Risk)
     Resiko ini timbul akibat kelemahan perundang-undangan beserta kelemahan aspek yuridis atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sah kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
6. Resiko Reputasi (Reputation Risk)
    Resiko yang antara lain disebabkan dari adanya publikasi negatif terkait atas kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank yang muncul dari kalangan internal maupun eksternal.
7. Resiko Strategis (Strategic Risk)
    Resiko yang antara lain disebabkan dari adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat. Pengelolaan resiko strategis dapat dilakukan  bank syariah untuk melakukan penetapan, mengidentififikasi, melaksanakan resiko strategis dan mengelola resiko yang terkait pada pengambilan keputusan bisnis.
8. Resiko Kepatuhan (Compliance Risk)
    Resiko yang timbul akibat adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk meminimalisir adanya risiko kepatuhan, dapat dilakukan dengan pengendalian internal secara konsisten suatu bank syariah.



C. Sistem Perekonomian Islam
1. Pengertian Ekonomi Islam
M.M. Metwally dalam “Teori dan Model Ekonomi Islam” menyatakan bahwa; Ekonomi Islam dapat diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, ijma’ (kesepakatan ulama)  dan qiyas (analogi). Al-quran dan as-Sunnah merupakan sumber utama sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan pelengkap untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah. Islam merumuskan suatu sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dari sistemsistem lainnya. Hal ini karena ekonomi Islam memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam mempunyai tujuan-tujuan syariah (maqosid asy-syari’ah) serta petunjuk operasional (strategi) untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan itu sendiri selain mengacu pada kepentingan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi, serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang antara kepuasan materi dan ruhani.
Imam Al-Ghazali dalam al-Mustasyfa mengemukakan bahwa tujuan utama syariah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia yang terletak pada pemeliharaan iman, hidup akal, keturunan, dan harta. Segala tindakan yang berupaya meningkatkan kelima maksud tersebut merupakan upaya yang memang seharusnya dilakukan serta sesuai dengan kemaslahatan umum. Secara umum tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan, serta tugas pengabdian atau ibadah
dalam arti luas. Untuk menunaikan tugas tersebut Allah telah membekali manusia dengan dua hal utama yaitu: manhaj al-hayat “sistem kehidupan” dan wasilah al-hayat “sarana kehidupan”, sebagaimana firman-Nya dalam Al Quran surat Al Luqman ayat 20 :
“Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan, diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberikan penerangan.” Manhaj al hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al Qur’an dan Sunah rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan (wajib) atau sebaliknya melakukan (sunah), juga dalam bentuk larangan melakukan (haram) atau sebaliknya meninggalkan sesuatu (mubah dan makruh). Aturan aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia.
sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer (al-haajat adhdharuriyyah) Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebgai hayatan thayyibah. Sebaliknya apabila manusia menolak untuk melaksanakan aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan seseorang, akan menimbulkan kemaksiyatan dan atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan di akhirat nanti. Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuhtumbuhan, hewan ternak dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 29 :
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia maha Mengetahui segala sesuatu.”



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar