Rabu, 23 Maret 2011

KHITBAH


PENDAHULUAN
          Akad nikah berbeda dengan transaksi – transaksi lain, karena mempunyai pengaruh penting dan sakral. Tema pernikahan menyangkut kehidupan manusia dan hubungan kebersamaan antara jenis laki – laki dan perempuan. Dari sisi sini pernikahan tergolong transaksi paling agung yang memperkuat hubungan antar sesama manusia dan paling kritis keadaannya. Mengapa tidak ? pernikahan adalah sarana terpercaya dalam memelihara kontiunitas keturunan hubungan, menjadi terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih sayang.
          Oleh karena itu, syariat islam menghendaki pelaksanaan pranikah (khitbah) untuk menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi nikah, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Menurut tradisi ahli syara’, pendahuluan transaksi nikah disebut khitbah.















PEMBAHASAN
A.   DEFINISI KHITBAH
Khitbah adalah permintaan seorang laki – laki untuk mengusai seorang perempuan tertentu untuk bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula diartikan, seorang laki – laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi menurut syara’. Adapun pelaksanaannya beragam, adakalanya peminang itu sendiri secara langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan orang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.
B.   HUKUM DAN HIKMAH KHITBAH
1). Hukum
     Syariat islam memperbolehkan seorang laki – laki memandang seorang perempuan yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunahkan karena pandanga peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Diantara dalil yang memperbolehkan melihat wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi SAW bersabda kepada Al Mughirah bin Syuaib yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi :
 Apakah anda telah melihatnya ? ” Ia menjawab : “ Belum”, Beliau bersabda:        
أنظر اليها فانه أحرى ان يؤدم بينكما
Lihatlah ia karena penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan anda berdua”.
     Sebagian ulama juga mengatakan bahwa melihat wanita yang akan dinikahi itu boleh saja. Mereka beralasan pada hadits Nabi SAW : ” Apabila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, maka tidak berhalangan alasannya untuk melihat perempuan itu asal saja melihatnya semata – semata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak”. ( H.R Ahmad)
     Adapun sebagian ulama berpendapat bahwa melihat wanita yang akan dikhitbah hukumnya adalah sunat keterangannya adalah sabda Rosul SAW :
"اذا خطب أحدكم المرأة فان استطع ان ينظر منها الى ما يدعه الى نكاحهافليفعل". رواه أحمد و ابو داود
Apabila seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, sekiranya dia bisa melihat perempuan itu hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan,maka lakukanlah”. (H.R Ahmad & Abu Dawud).
Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena memang masing – masing calon harus saling mengetahui permasalahan secara jelas orang yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi bagian yang terpenting untuk keberlangsungan pernikahan, yakni anak – anak dan keturunannya. Hukum kebolehannya dianalogikan dengan peminang yang memiliki alasan (illat) yang sama.
2). Hikmah
Transaksi nikah dalam Islam tergolong transaksi yang paling agung dan yang paling tinggi kedudukannya, karena ia hanya terjadi pada makhluk paling agung di bumi, yakni manusia yang dimuliakan Allah SWT, sebagaimana firmannya :
"ولقد كرّمنا بنى أدم وحملناهم فى البرّ والبحر ورزقناهم من الطيّبات وفضّلناهم على كثير ممّن خلقنا تفضيلا"
Dan sungguh kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami mengangkut mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang baik – baik dan kami lebihkan mereka diatas makhluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (Q.S Al – Isra (17) : 70).
          Akad nikah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara. Salah stu dari kedua pasangan hendaknya tidak mendahului dengan ikatan pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali telah diseleksi secara benar dan mengetahui secara jelas kondisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya, sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tenteram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia dan ketenangan. Ketergesa - gesaan dalam ikatan pernikahan tidak akan mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah hikmah disyariatkan khitbah dalam Islam untuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.
C.   MACAM – MACAM KHITBAH
Secara garis besar para ulama membagi macam – macam khitbah menjadi dua :
          1). Meminang secara langsung, berarti meminang seorang wanita menggunakan bahasa yang jelas, berarti menyebutkan ungkapan kata yang mempunyai makna suatu keinginan meminang, tidak ada kemungkinan makna lain, seperti “ Aku ingin menikahimu”.
          2). Meminang secara tidak langsung, adalah meminang dengan bahasa sindiran (kinayah), dan samara berarti menyebut ungkapan kata yang mengandung makna meminang dan makna lain, dan makna meminang dalam bahasa ungkapan lebih kuat.
          Diantara hadits yang dijadikan dasar adalah periwayatan Abu Amr bin Al Ash yang menalak Fatimah binti Qays dengan pasti dan ia telah meninggalkannya. Nabi SAW bersabda :
"اذا حللت فأذنيني"
Jika engkau telah halal beritahu aku”. (H.R Muslim).
D.   WANITA – WANITA YANG HALAL DAN HARAM DIKHITBAH
Wanita menjadi objek khibah jika ia terlepas dari berbagai larangan dalam syara’ dan tidak haram karena suatu sebab dari berbagai sebab keharaman. Sebab keharaman itu adakalanya kekal abadi seperti ibu, saudara perempuan dan saudara perempuan dari pihak bapak maupun ibu, dan ada kalanya bersifat temporal seperti wanita murtad, wanita musyrik, istri orang, saudara perempuan dari istri atau saudara perempuan bapak. Wanita yang abadi haram untuk dikhitbah dalam keadaan apapun sebab keharamannya bersifat tetap dan tidak akan sirna, tidak akan terjadi pengguguran, perubahan dan pergeseran. Sedangkan wanita yang diharamkan yang bersifat temporer, tidak boleh dinikahi selama sebab keharaman itu melekat pada dirinya. Apabila sebab keharaman yang melekat pada dirinya telah lenyap maka boleh bagi orang yang akan menikahinya untuk mengkhitbahnya. Misalnya, wanita murtad atau musyrik telah kembali masuk islam, dan wanita yang tertalak yang sudah habis masa iddahnya.
1). Wanita Ber- Iddah Talak Raj’i
          Para fuqaha sepakat keharaman meminang wanita dalam masa iddah talak raj’i ( suami boleh kembali kepada istri karena talaknya belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan bahasa yang tegas dan jelas maupun menggunakan bahasa sindiran. Sang istri yang tertalak raj’i masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama dalam masa iddah. Suami boleh rujuk (kembali) tanpa meminta kerelaan daripadanya kapanpun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih dalam masa iddah.
          2). Wanita Ber – Iddah Talak Ba’in
          Tidak ada perselisihan diantara para Fuqaha, bahwa tidak boleh meminang wanita masa iddah talak ba’in kubro (talak ba’in besar yakni tiga kali cerai) dengan kalimat yang jelas, kecuali dengan menggunakan kalimat samaran atau sindiran. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dasar adalah firman Alla SWT :
"ولا جناح عليكم فيما عرّضتم به من خطبتة النساءأو أكننتم في انفسكم"
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan – perempuan itu dengan sindiran atau dengan kamu sembunyikan ( keinginanmu ) dalam hati ”. (Q. S Al Baqarah (2): 235).
          3). Wanita Ber – Iddah karena Khulu’ atau Fasakh
          Wanita ber – iddah karena khuluk (talak karena permohonan istri dengan hadiah) atau karena fasakh nikah (ada sesuatu yang merusak keabsahan nikah) karena suami miskin atau tidak pernah pulang. Fuqaha sepakat bahwa wanita tersebut tidak dipinang secara jelas dari selain suami pencerai.
          4). Wanita Ber – Iddah karena Kematian Suami
          Fuqaha sepakat bahwa tidak boleh meminang secara jelas terhadap wanita ber – iddah karena kematian suami sebagaiamana diperbolehkannya meminang dengan sindiran. Dasar ketentuan tersebut adalah firman Allah SWT :
"ولا جناح عليكم فيما عرّضتم به من خطبتة النساءأو أكننتم في انفسكم"
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan – perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati ”. (Q. S Al Baqarah (2) : 235).
E.    BATASAN – BATASAN DALAM KHITBAH
Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, Asy- Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita yang dikhitbah yang hanya boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai – nilai kejiwaan, kesehatan dan akhlak. Sedangkan tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalil mereka dalam firman Allah SWT :
"ولا يبدينازينتهنّ الّا ما ظهر منها"
Dan janganlah menampakkan perhisannya (auratnya) kecuali apa yang dapat terlihat darinya”. (Q. S An Nur (24) : 31).
          Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “ Apa yang terlihat darinya” dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan, pandangan disini diperbolehkan karena posisi darurat maka hanya sekadarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak boleh memandang selain kedua anggota tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
F.    PEMBATALAN KHITBAH DAN KONSEKWENSINYA DALAM HUKUM ISLAM
Dalam melangsungkan proses khitbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak terhadap keadaan, karakter, sikap dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khitbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktivitas saling mengenal ( ta’aruf), maka apabila ketika dalam aktivitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan tidak adanya kecocokan antara dirinya dan calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khitbah tersebut.
          Seperti halnya dalam mengawali khitbah maka ketika akan mengakiri khitbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khitbah, hal – hal yang harus diperhatikan adalah adanya alasan – alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu atau kedua belah puhak menemukan kekuranga pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan – kekurangan tersebut bersifat prinsip atau fatal. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khitbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah SWT semisal kematian yang menimpa salah satu calon atau keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan – alasan yang syar’i, maka pembatalan khitbah tidak boleh dilaksanakan, karena itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan itu merupakan ciri dari orang – orang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi orang yang dikhitbahnya.
          Rosulullah SAW bersabda :
Sifat orang munafik itu ada tiga: apabila berkata ia dusta, bila berjanji ia menyalahi, dan bila  dipercaya ia berkhianat”. (HR. Bukhari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar