Kamis, 24 Maret 2011

ILMU KALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU


Latar Belakang
Kegiatan intelektual umat Islam telah mati. Begitulah pernyataan yang sering diulang ulang oleh kalangan orientalis. Setidaknya ada tiga buah dalih yang digunakan kalangan orientalis untuk meyakinkan umat Islam, tentang kemandegan kegiatan intelektual ini. Pertama, isu tentang tertutupnya pintu ijtihad yang telah berlangsung selama seribu tahun. Kedua, serangan Al-Ghazali terhadap filsafat, melalui karyanya yang monumental, Tahafut al-Falasifah dan Ketiga, meninggalnya Ibn Rusyd, yang dianggap sebagai simbol rasionalisme Islam.
Dalam Islam sendiri mempunyai banyak macam ilmu, yang sebagian dari kita tidak mengetahu atau bahkan mendengarnya. Kalau dalam khazanah ilmu Yunani dikenal dengan ilmu filsafat. Didalam Islam sendiri juga terdapat apa yang dipunyai Yunani, yaitu dikenal dengan nama ILMU KALAM, meskipun dalam segi metodologinya terdapat perbedaan diantara dua ilmu tersebut. Banyak Mutakallim (ulama kalam) yang berpengaruh pada pemikiran Barat maupun di dunia Islam sendiri, seperti Ibn Rusyd yang di Barat dikenal dengan nama Averroes, Ibn Sina, dikalangan intelektual Eropa dikenal dengan nama Avicenna, Al-Kindi, Ibn Khaldun dikenal sebagai bapak sosiologi, dan Al-Ghazali, dan masih banyak lagi.
           
Rumusan Masalah
   Apakah definisi dari Ilmu Kalam itu ?
   Apa objek kajian Ilmu Kalam ?
   Apa saja sumber Ilmu Kalam ?
   Apa saja metode yang digunakan para Mutakallim ?
   Apa kegunaan dari Ilmu Kalam ?

Tujuan
Sebenarnya apakah yang dimaksud ilmu kalam, dan metode-metodenya? Kebanyakan dari kita tidak mengetahui hakikat ilmu ini, yaitu ilmu yang banyak dipelajari oleh para intelektual Muslim abad pertengahan bahkan masih dipelajari sampai sekarang oleh sebagian intelektual Muslim. Patut sekiranya kita mengetahui hal ihwal ilmu ini, melihat pengaruhnya sangat besar terhadap pemikiran-pemikiran para ulama terdahulu, dengan harapan, pemikiran kita tidak hanya berkiblat kepada pemikiran Barat tetapi menggali dari Islam sendiri, seperti yang telah dicapai pada abad pertengahan. Disisi lain adalah mempelajari metode-metode berfikir para ilmuan Muslim, dan tidak menutup kemungkinan kita dapat mencontoh yang positif dari pemikiran tersebut.

PEMBAHASAN


A.    Nama dan Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain: Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tauhid, Fiqh Al Akbar, dan Teologi Islam. Disebut ilmu ushuludduin karena ilmu ini membahas masalah pokok-pokok agama, disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas tentang keesaan Allah SWT. Di dalamnya dikaji pula tentang asma’ (nama-nama) dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil dan ja’iz, juga sifat yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi Rosul-Nya.[1] Ilmu tauhid sendiri membahas tentang keesaan Allah SWT., dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih ditekankan dengan penguasaan logika. Oleh sebab itu sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Teologi islam merupakan nama lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa Inggris theology. William L. Resse mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.[2]
Masih berkaitan dengan hakikat Ilmu Kalam, Al-Farabi mendefinisikannya sebagai berikut:
" Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan Sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia dan sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis”.
Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai berikut:
”Ilmu kalam adalah definisi ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dengan dalil-dalil rasional”.
Apabila memperhatikan definisi ilmu kalam diatas. Yakni ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat, secara teoritis aliran salaf tidak bisa dimasukkan kedalam aliran ilmu kalam, karena aliran ini dalam masalah-masalah ketuhanan tidak menggunakan argumentasi filsafat atau logika. Aliran ini cukup dimasukkan kedalam aliran ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin atau ilmu fiqh al-akbar.

B. Objek Kajian Ilmu Kalam
Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi berupa dalil-dalil Qur’an dan Hadis.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.[3]

C.  Sumber-Sumber Ilmu kalam
  1. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, di antaranya adalah:Q.S. Al-Ikhlas (112): 3-4, Q.S. As-Syuro (42): 7, Q.S. Al- Furqon (25): 59, Q.S. Al- Fath (48): 10, Q.S.At- Thaha (20): 39, Q.S. Ar -Rahman (55): 27, Q.S. An- Nisa’ (4): 125, Q.S. Al Luqman (31): 22, Q.S. Ali Imran (3): 83-85, Q.S. Al- Anbiya’ (21): 92, dan Q.S. Al- Hajjaj (22): 78.
      Ayat-ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan, tuntutan, dan hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rincinya tidak ditemukan. Oleh karena itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan itu disistemaisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah Ilmu Kalam.
  1. Hadis
Hadis Nabi SAW.pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam. Diantaranya adalah Hadis Nabi yang menjelaskan hakikat keimanan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. katanya: pada suatu hari, ketika Rosulullah SAW.berada pada kaum Muslimin, datanglah seorang laki-laki kemudian bertanya kepada beliau, wahai Rosulullah,; Apakah yang dimaksud dengan iman?, Rosul pun menjawab: Yaitu, kamu percaya kepada Allah, para Malaikat, semua Kitab yang diturunkan, hari pertemuan dengan-Nya, para Rosul dan hari kebangkitan. Lelaki itu bertanya lagi: wahai Rosulullah, apakah pula yang dimaksud dengan Islam? Rosulullah menjawab: Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan perkara lain, mendirikan shalat yang telah difardlukan, mengeluarkan zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa pada bulan ramadlan. Kemudian lelaki itu bertanya lagi: wahai Rosulullah, apakah Ihsan itu?Rosulullah SAW.pun menjawab: Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah rngkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwasanya Dia selalu memperhatikanmu. Lelaki tersebut bertanya lagi: Wahai Rosulullah, bilakah hari kiamat akan terjadi? Rosulullah menjawab: Aku tidak lebih tahu darimu, tetapi aku akan ceritakan kepadamu tanda-tandanya. Apabila seorang hamba melahirkan majikannya, itu adalah sebagian dari tandanya. Apabila seorang miskin menjadi pemimpin masyarakat, itu juga sebagian dari tandanya. Apabila masyarakat yang dahulunya penggembala kambing mampu bersaing dalam mendirikan bangunan-bangunan mereka, itu juga tanda akan terjadi kiamat. Hanya lima perkara itu saja sebagian dari tanda-tanda yang aku ketahui. Selain itu Allah saja Yang Maha Mengetahuinya. Kemudian Rosulullah SAW.membaca surat Luqman ayat 34............
  1. Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat islam.
            Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah mempergunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya[4]
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (Q.S. Muhammad {47}:24)
            Bentuk konkrit penggunaan pemikiran Islam sebagai sumber ilmu kalam adalah ijtihad yang dilakukan para Mutakallim dalam persoalan-persoalan tertentu yang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur’an dan Hadis, misalnya persoalan manzilah baina manzilatain (posisi tengah antara dua posisi) dikalangan Mu’tazilah; persoalan ma’sum dan bada dikalangan Syi’ah; dan persoalan kasab di kalangan Asy’ariyah.
            Adapun sumber ilmu kalam yang bersumber dari pemikiran dari luar Islam dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, pertama, pemikiran nonmuslim yang telah menjadi peradaban lalu ditransfer dan asimilasikan dengan pemikiran umat Islam. Proses      transfer dan asimilasi ini dapat dimaklumi karena sebelum Islam masuk dan berkembang, dunia Arab (Timur Tengah) adalah suatu tempat atau wilayah diturunkannya agama-agama samawi lainnya. Kedua, berupa pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis, seperti filsafat (terutama  dari Yunani), sejarah, dan sains.
  1. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah ada sejak manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang primitif. Adapun Spencer mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Dia menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi.
            Di dalam mimpi seorang dapat bertemu, bercakap-cakap, bercengkrama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang telah mati sekalipun. Ketika seoarang telah mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat yang semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang bermimpi untuk meyakini apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adala perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujan terhadap roh berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau lainnya.
            Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak keberdaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L. Resse mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, atau yang telah dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos. Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi teolgi alam dan teologi wahyu.
            Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa secara historis. Ilmu kalam bersumber pada Al-Qur’an, Hadis, pemikiran manusia, dan insting. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mepunyai objek tersendiri, tersistematisasikan, dan mempunyai metodologi sendiri.

D. Kerangka Berfikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam
 Dalam kaitan ini, Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang telah mendengar keputusan hukum yang telah diputuskan oleh Nabi, sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu ketentuan hukum.[5]
            Perbedaan berfikir secara garis besar dapat dikategirikan menjadi dua macam, yaitu karangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Metode berfikir rasional mempunyai prinsip-prinsip berikut ini:
1.      Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qhat’i ( teks yang tidak diinterpretasikan  lagi kepada arti lain, selain arti harfiahnya).
2.      Memberikn kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat terhadap akal.
Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:
  1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzhanniy (teks yang mengandung arti lain selain arti harfiahnya).
  2. Tidak memberikan kebebasab kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak.
  3. Memberikan daya yang kecil terhadap akal.

E. Kegunaan Ilmu Kalam
            Dilihat dari aspek aksiologi (manfaat) ilmu kalam, diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf.[6] Oleh karena itu jika ada suatu aliran yang bertentangan dengan suatau akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan denngan Al-Qur’an dan As-Sunah, hal itu merupakan penyimpangan tau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama Salaf, hal itu harus ditolak. Ini adalah salah satu dimana pentingnya mempelajari ilmu kalam. Seorang ulama abad pertengahan Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul Asma Al-Husna, menjelaskan dengan baik persoalan tauhid (kalam), terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah, materi pokok ilmu kalam (tauhid). Menurutnya nama Tuhan Ar-Rahim, pada aplikasi rohaniahnya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Ar-Rahman diaplikasikan, seseoarang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan bukan kekerasan, melihat oarang dengan mata rahim, bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya terhadap orang yang durhaka agar dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain menderita atua sakit orang yang rahim akan segera menolongnya. Nama lain Allah yang patut diteladani adalah Al-Qudus (Mahasuci). Seorang hamba akan suci kalu berhasil membebaskan pengaetahuan dan kehendaknya dari khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang.
            Dalam agama Kristen teologi tidak hanya berusah memberikan pertahanan rasional untuk keyakinan tetapi ia juga berusah memberikan suatu pintu masuk realitas tertinggi  bagi kehidupan spirit (jiwa), seperti ditemukan pada teologi mistik Dionysius the Areopagite. Hal seperti ini tak terjadi dalam Islam, dimana kalam, yang secara literal bararti kata, telah berkembang menjadi ilmu yang menunjang tanggung jawab kepercayaan-kepercayaan agama yang mapan secara kokoh memberi bukti dan menghalau keraguan. Ekspresi-ekspresi spiritual dan intelektual yang terdapat dalam Islam tidak bisa ditemukan dalam karya-karya kalam. Walaupun demikian, ilmu ini adalah penting untuk memahami aspek-aspek khusus pemikiran Islam, dan harus menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam setiap karya yang kelihatannya ditujukan bagi manifestasi-manifestasi spiritual Islam.[7]

F. Kesimpulan
Ilmu Kalam, biasanya disebut dengan beberapa nama, antara lain: Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tauhid, dan Teologi Islam. Disebut Ushuluddin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin). Disebut Ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas tentang keesaan Allah SWT. Di dalamnya juga membahas tentang af’al Allah yang wajib, mustahil dan ja’iz. Membahas juga tentang sifat yang wajib dan ja’iz bagi Allah SWT dan Rosul-Nya. Ilmu Tauhid sendiri sebenarnya membahas tentang keesaan Allah SWT., dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasinya ilmu kalam lebih ditekankan pada penguasaannya terhadap logika.

DAFTAR PUSTAKA



Nasr, Sayyed Hossein,  Intelektual Islam : Teologi. Filsafat, dan Gnosis,         terj.,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam: untuk UIN, STAIN, PTAIS,           Bandung: Pustaka Setia,  2007.


[1] Muhammad Abduh Risalah Tauhid, terj. Firdaus An., Bulan Bintang, Jakarta, 1965, hlm 25.
[2] William L. Resse, Dictionary of Philosophy and Religion, Humanites Press Ltd, USA, 1980, hlm 28.
[3] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk  UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm 44.
[4] Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.39-51
[5] Sebagai contoh adalah peristiwa hajinya Rosul dengan sebagian para sahabatnya. Sebagian sahabat menganggap bahwa memperpanjang pelaksanaan thawaf, sebagaimana yang mereka saksikan dari Nabi, termasuk perbuatan Sunnah. Sementara itu, sebagian Sahabat merasa ragu dan bimbang dalam menentukan persoalan ini. Lihat Waliyullah Ad-Dahlawiy, Al-Insyaf fi Bayan Asbab Al-Ikhtilaf, Dar An-Nafais, Beirut, 1978, hlm.15-30.
[6] Ibid. hlm 46.
[7] Lihat Seyyed Hossein Nasr,Intelektual Islam, Teologi, Filsafat, dan Gnosis,terj. Suharsono dan   Djamaluddin MZ, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1991, hlm. 4-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar